i'm simple and very happy

Kamis, 05 Desember 2013

Politik Kebudayaan (Budaya yang Dipolitisir?)

Tidak hanya ekonomi yang begitu erat dan mesra dengan politik, namun budaya juga tidak bisa dipisahkan dengan politik. Saat ini budaya K-Pop dianggap mengancam trendsetter pop di Eropa bangkan di Asia itu sendiri, mulai gaya rambut, fashion, pakaian, musik, bahasa, bahkan koreografi.

Untuk Indonesia sendiri, resistensi budaya pernah terjadi di masa "muda" Indonesia di pemerintahan Presiden Soekarno di era tahun 50-an sampai medio 60-an. Saat itu yang dianggap Bung Karno sebagai ancaman adalah budaya rock 'n roll yang diembuskan band asal Liverpool Inggris; The Beatles. Penyebaran budaya ini mulai menusuk Indonesia dengan lahirnya band lokal dengan aliran rock 'n roll; The Betles.

Secara terang-terangan Bung Karno tidak menyukai budaya pop ini, yang imbasnya The Beatles jadi band incaran "kebencian" Bung Karno. Kenapa Bung Karno sampai sebegitu bencinya? Karena Bung Karno menganggap aliran budaya rock 'n roll ini sebagai virus kemalasan, yang mengumbar percintaan dan masalah remeh temeh. Bahkan secara terang-terangan Bung Karno menyebut budaya yang sedang digandrungi anak muda Indonesia dari segala sisinya ini sebagai budaya ngak ngek ngok.

Budaya ini dipandang sebagai ancaman lantaran mereduksi semangat nasionalisme , kerja keras, dan perjuangan. Akhirnya kebijakan represif Bung Karno terhadap serangan budaya rock 'n roll diwujudkan dengan pelarangan beredarnya aliran musik tersebut, entah itu yang dari luar atau dari dalam negeri. Surat kabar, radio, live performance dilarang menampilkan aliran musik cengeng tersebut. Bahkan tukang cukur pun dilarang memotong model rambut poni gaya The Beatles.

Barangkali kita menganggap hal itu tindakan berlebihan Presiden Soekarno. Namun kalau ditelisik lebih jauh itu hal wajar yang dilakukan sebuah pemerintahan yang baru berusia muda. Di tengah semangat perjuangan nasionalisme mempertahankan kedaulatan, filter budaya pantas dilakukan kalau tidak ingin penjajahan masuk kembali. Saat inipun saya fikir ini masih relevan. Budaya dan sejarah adalah identitas sebuah bangsa. Turis yang melancong mengunjungi sebuah negara daya tariknya adalah wisata sejarah dan budaya. Kalau datang ke Mesir yang dicari Piramida, Spinx, atau makam Firaun. Ke Thailand tertarik dengan istana Angkorwat, ke Turky museum Hagia Sophia, ke Paris menara Eifel, ke Indonesia candi Borobudur, dll.

Jadi wajar saat Soeharta merekayasa Menikebu, ini semata karena dia tidak ingin budaya Indonesia bernafaskan komunis. Yang tidak wajar kalau gempuran budaya K-Pop dibiarkan begitu saja, begitu Reog Ponorogo dan wayang diklaim Malaysia baru kebakaran jenggot.


End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar