i'm simple and very happy

Jumat, 06 Desember 2013

Latah Kebencian, Latah Serba Babi

Setelah Pekan Kondom Nasional, kini heboh obat dan vaksin mengandung bahan babi. Untuk yang kedua saya tidak sepakat kalau Menkes Dr. Nafsiah Mboi yang jadi bulan-bulanan. Saya melihat ramenya permasalahan ini di dunia maya adalah bentuk ketidakproporsionalan dalam bersikap dan cenderung membenci kepribadian Menkes. Saya lebih menilai ini latah kebencian setelah kasus PKN sebelumnya. Padahal untuk vaksin dan obat mengandung bahan babi, hukumnya sudah berubah. 

Namun demikian saya sangat menghormati rekan-rekan yang menolak obat atau vaksin babi yang tidak berlabel halal MUI. Saya yakin ini adalah bentuk kehati-hatian.

Ini referensi pegangan saya:

Mengandung Babi Atau Pernah Menjadi Babi

By : Ahmad Sarwat, Lc., MA
6 December 2013, 09:51:08
Dibaca : 225 kali | Baca Versi HP Disini
Sebagian dari teman saya banyak yang punya semangat '45 sebagai aktifis anti babi untuk semua produk. Maksudnya, mereka amat gencar mengkampanyekan (baca:mengharamkan) segala sesuatunya, lantaran produk itu menurut mereka dipastikan mengandung babi. Walaupun di dalam keterangan pada kemasan, sama sekali tidak tercantum.

Buat bangsa Indonesia, kampanye anti babi ini amat diterima dan banyak penggemarnya. Sebab babi itu selalu dikaitkan dengan benda najis yang derajatnya sampai ke tingkat mughallazhah.

Maka ketika ada isu babi yang terkandung secara tersembunyi pada suatu produk, kontan serentak mereka langsung mengeluarkan vonis : HARAM.

Dengan cara seperti ini, sebagian teman saya itu merasa sudah beramar-makruf nahi munkar, yaitu mengingatkan orang-orang untuk tidak makan babi.

Namun kalau saya baca literatur fiqih, ada sebuah istilah yang nyaris jarang diungkap, yaitu istihalah. Istihalah adalah berubahnya wujud suatu benda menjadi benda yang lain, sehingga membuat benda yang asalnya najis itu menjadi tidak najis.

Contohnya adalah khamar yang najis itu berubah menjadi tidak najis dan halal diminum, ketika berubah menjadi cuka. Bahkan Rasulullah SAW amat gemar makan dengan lauk cuka.

Contoh lainnya adalah air mani. Jumhur ulama terkecuali Asy-Syafi'iyah mengatakan bahwa air mani itu najis. Tetapi apabila air mani yang najis itu sudah menjadi janin atau bayi manusia, maka hukumnya tidak najis lagi.

Contoh ketiga adalah kulit bangkai yang hukumnya najis sebagaimana dagingnya. Tetapi jika bangkai itu dikuliti, lalu kulitnya disamak (dibagh), maka oleh Rasulullah SAW difatwakan hukumnya sudah tidak najis lagi.

Ayyuma ihabin dubigha faqad thahura (semua kulit bangkai yang telah disamak, maka hukumnya menjadi suci).

Intinya adalah suatu benda yang najis itu apabila mengalami perubahan mendasar menjadi benda yang lain, maka hukum najisnya sudah hilang alilas menjadi suci.

Daging ikan lele sebenarnya terbuat dari benda najis, sebab lele tumbuh subur di kolam yang menampung kotoran hewan bahkan kotoran manusia. Tetapi ketika semua kotoran yang najis itu sudah masuk ke perut lele dan diolah sedemikian rupa, sudah bukan benda najis lagi.

Sepanjang pengetahuan saya, belum ada satu pun ulama yang mengharamkan daging ikan lele. Padahal 100% makan kotoran, namun kotorannya sudah berubah menjadi daging lele.

Bangkai babi yang dipendam di dalam tanah, apabila sudah busuk dan berubah menjadi tanah, lalu di atas tanah itu kita tanami tanaman singkong, maka singkong yang itu tidak najis. Sebab meski dapat 'gizi' dari unsur hara tanah yang subur lantaran ada kuburan babi, namun yang kita makan bukan babi, melainkan singkong.

Kita sepakat bahwa babi itu haram, tetapi tidak mungkin kita mengharamkan singkongnya, hanya lantaran menyerap unsur dari babi. Rasanya tetap rasa singkong dan bukan rasa babi. Bagaimana mungkin singkongnya jadi haram hanya gara-gara punya masa lalu dari unsur babi?





Tidak ada komentar:

Posting Komentar