“Adventurer Ben Fogle meets more people who
have turn their backs on the trapping of western society and set up home in
some of the most isolated location on earth”
Diatas itu sedikit gambaran acara televisi
yang kebetulan saya tonton beberapa hari lalu . Cukup terenyuh saya. Gimana
tidak terenyuh melihat anak manusia hidup terisolasi di kutub.. kutub yang
dinginnya subhanallah, ampuun. ohhh nooo!!!
Awalnya dia adalah seorang manajer pada sebuah
perusahaan, dengan gaji sangat besar, kehidupan mapan. Tinggal di sebuah
apartemen mewah. Berkeluarga, punya anak. Menjalani kehidupan seperti
seharusnya manusia. Sekolah, bekerja, menikah, berkeluarga. Namun baginya itu
serasa datar saja, dia bilang dia menjalani hidup seperti seharusnya, tapi
bukan seperti yang dia inginkan. Memang ingin apa sih mbakyu? Hari begini jaman
hidup serba sulit, persaingan ketat, nyari kerja bisa dibilang tidak mudah,
lalu ia dengan mudahnya melepas kariernya demi sebuah tujuan hidup yang ekstra
odinary.
Resign dari tempat kerja, berpisah dengan
keluarga, menjelajah seantero bumi. Hingga akhirnya menemukan tambatan hatinya
yang baru di benua arktika. It’s soo hard to understand.. sulit dimengerti
bagiku. Kenapa hanya demi sebuah tujuan yang bukan misi sosial, bukan karna
alasan agama, bukan karna pertengkaran dan tekanan, bukan karena alasan
ideologis, dan bukan hal penting lain... seseorang rela berpisah dengan
orang-orang tercintanya yang mengasihinya. Ah tapi itulah hidup, saya tak
berhak menghakimi dan menyalahkan. Lagipula siapa saya, saudaranya juga enggak.
Hehe.. Hidup ini adalah pilihan. Toh pada akhirnya ia bahagia dengan pilihan
hidupnya. Hidup yang lebih menantang dan berwarna, setidaknya begitu menurut
dia.
Cintanya yang baru adalah seorang joki kereta luncur
anjing kutub. Pria sederhana dengan 40 ekor anjing peliharaan. Jangan dikira
anjing unyu-unyu dan lucuu yaaa... ini adalah anjing liar. Galak. Bahkan si
wanita, sempat menangis ketika pertama bertemu dan melihat kenyataan dia harus
berinteraksi dengan anjing-anjing tersebut. Bagaimana tidak menangis, sedangkan
dia sedari kecil sangat amat takutnya terhadap anjing.
Keteguhan ternyata mengalahkan rasa takutnya.
Tak lama waktu berselang ia telah akrab dengan peliharaannya yang 40 ekor itu.
Dia hafal nama mereka satu per satu. Telaten memberi makan, membersihkan
kandang dan giat berlatih mengendarai kereta luncur yang ditarik anjing-anjingnya.
Pernah jatuh kesakitan berkali-kali tapi tak menyerah. Hingga akhirnya dia bisa
membantu suaminya menjadi joki kereta luncur salju.
Mereka membangun rumah kecil diujung arktik. Tanpa
tetangga, hanya bersama peliharaannya. Jika musim wisatawan, mereka sediakan
kamar khusus untuk menginap dan transport kereta luncur mengelilingi daerah
bersalju. Hidup terasa begitu sulit dengan suhu puluhan derajat dibawah nol,
tanpa listrik, tanpa air pompa. Air hanya mengandalkan sumur alami. Mereka
mengambil air dengan sebuah timba. Jika ingin memasak, mencuci baju mereka
harus memanaskan air. Jika ingin belanja mereka harus pergi ke kota terdekat
yang jaraknya puluhan kilometer. Pada
akhirnya mereka harus memasang listrik untuk keperluan hariannya. Untuk Pemanas ruangan dan mandi sauna. Jarang mandi
dengan air pada suhu sedingin itu.
Mereka bercerita bahwa lebih dari separuh
penghasilan mereka digunakan untuk memberi makan anjing-anjingnya. Mereka makan
sederhana, tak terpikirkan berwisata ke tempat jauh. Karna mereka harusmengurus
anjing-anjingnya setiap hari. Tak juga
sekedar berwisata kuliner karna pengeluaran harus ditekan. Setiap hari sibuk
dengan urusan keseharian yang sangat melelahkan, sebab lingkungan begitu
ekstrim, jauh fasilitas papaun, tiada tetangga yang bisa dimintai tolong, dan
tak ada kemudahan informasi dan teknologi. Tanpa televisi, tanpa ponsel, laptop
atau apalah yang bernama teknologi informasi. Salah satu hal yang paling
membuat mereka bahagia hanyalah mereka
dapat hidup tanpa campur tangan pemerintah dan tekanan orang lain.
Ketika ditanya apakah anjing-anjing itu
membuatmu bahagia dan bisa menggantikan keluargamu di hatimu? Dia menjawab bahwa
anjing-anjing itu memberikan warna dalam hidupnya, tapi takkan pernah bisa
menggantikan posisi keluarga dalam hatinya. Keluarga adalah yang terbaik.
Sesungguhnya tak habis pikir aku.. benar-benar
tak habis pikir. tapi memang demikian adanya. Setidaknya ada pelajaran berharga
yang aku bisa ambil dari kisahnya. Jika hanya demi memelihara anjing seseorang
bisa menghabiskan lebih dari separuh penghasilannya dan ia rela bersusah-susah
hidup dalam kesederhanaan, maka apakah
seorang yang memngasuh anaknya penuh kasih sayang dan mencukupi segala
kebutuhannya, tidak rela berhemat dan banting tulang demi anak-anaknya.
Jika di ujung dunia seseorang sanggup
memelihara empat puluh ekor anjing liar, maka apakah kita merasa tak sanggup sehingga
harus membatasi anak satu atau dua saja, aytau yang lebih ekstrim
menggugurkannya? Anak adalah rizki, karunia.
Jika seseorang diluar sana rela berpayah-payah
dalam kesengsaraan demi sebuah misi yang tiada jelas, maka apakah kita yang
telah jelas memiliki misi hidup dan tujuan tidak rela berpayah-payah dalam
menggapainya
Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin,
ihdinashshiraathal mustaqiim. Wallahul musta’an
Author: Nety Arbya