i'm simple and very happy

Sabtu, 01 Februari 2014

The Power of View

”Women without her man is nothing
 Women, without her, man is nothing
 Women without her man, is nothing"

Saya awali tulisan ini dengan diskusi saya di sebuah grup yang lagi iseng semi hot membahas poligami :-). Pada saat diskusi itu saya mempunyai fikiran bahwa ada yang masih pro dan kontra itu karena latar belakang budaya. Saya ambil contoh bahwa para sultan kerajaan jawa Hindu dan Islam ataupun para khalifah zaman kekhalifahan Islam semua berpoligami. Lantas ketika itu dilakukan apakah banyak yang protes kaum perempuanya? Ternyata tidak. Contoh lagi adalah di Centinnel Park -sebuah desa kecil di Colorado Arizona AS , semua laki-lakinya berpoligami. Kalau tidak berpoligami lantas itu menjadi aib. Nah dari situlah saya berkesimpulan bahwa penerimaan ini tergantung perpektif, sudut pandang yang notabene jadi unsur budaya. Di negri ini, mereka yang berpoligami saya berani jamin itu karena latar keimanan saja dari istri pertama. Bukan mengatakan istri yang tidak mengijinkan berpoligami itu tidak beriman lho ya he... Maksud saya mereka yang berpoligami menggunakan bisikan syariat dan keimanan yang dipegangnya untuk memberikan lampu hijau bagi suaminya untuk menikah lagi. 

Itulah yang saya maksud dengan perspektif dan sudut pandang. Kasus zaman jawa kuno, kekhalifahan Islam ataupun di kota kecil itu karena masyarakatnya bersudut pandang dan sudah turun temurun melihat poligami atau menjalankan poligami. Sedangkan di negri ini pada zaman modern, poligami masih jadi perdebatan sengit, bahkan menjurusnya sudah sampai ke HAM, kesetaraan gender, dan bahkan syariat Islam yang dibawa-bawa. Itu tak lain karena budaya modern negri ini memandang poligami sebagai hal yang tabu. Ah sudahlah, saya tidak mau nyemplung dalam debat kusir di atas, lagi pula tulisan saya bukan itu intinya. 

"Ana 'inda dzonni 'abdihi, Aku sesuai persangkaan hambaku" begitu kata Allah. Dalam kehidupan ini masalah itu sebenarnya kabur, rancu, dan subyektif. Artinya antara satu orang dengan yang lainya tidak sama menganggap masalah. Kawan-kawan tentunya tau mas Pepeng (Verrasta Soebardi), komedian yang terkenal dengan kuis "jari-jari" nya dulu tahun 90 an. Beliau sekarang menderita penyakit MS (Multiple Schlerosis) yang divonis belum ada obatnya sampai saat ini. Di balik kesakitanya itu, beliau begitu tegar dan bahkan menjadi inspirasi banyak orang. Bahkan di Indonesia ini, saya yakin beliau saja yang jadi host sebuah acara di atas pembaringan. Rahasianya ternyata memang kembali bagaimana sikap dan perpesktif beliau terhadap penyakit. Saat rasa nyeri dan sakitnya datang beliau memegang prinsip "Alaa bidzikrillaahi tathmainnul quluub, hanya dengan Allah hati menjadi tenang". Lantas apakah rasa nyerinya langsung hilang seketika? Tidak! rasa nyerinya tetap ada, namun semangat berjuang hidupnya yang makin bertambah. Amazing. Hal ini bisa muncul karena perpektif dan sudut pandang tadi. "Orang besar itu mereka yang mampu menguasai isi otaknya", begitu kata Ahmad Fuadi pengarang buku Negri 5 Menara. 

Seperti petikan kalimat dalam Bahasa Inggris saya di atas, sudut pandang kita terhadap hidup itu seperti letak tanda baca. Dimana kita meletakkan tanda baca maka akan kita dapati arti dari kalimat yang kita baca. Tanda baca dirubah letaknya, akan didapati arti kalimat yang lain pula. Begitulah kawan, problem hidup itu keniscayaan, kepastian. Kalau sudah pasti, tinggal kita atur saja letak tanda baca hidup kita supaya didapati kalimat kehidupan yang penuh kebahagiaan dan makna. Inilah The Power of View kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar